Minggu, 27 November 2016

Awal Pertemuan

Ketika aku lebih sering membicarakannya, lalu kau merasa itu mengurangi waktumu membicarakan pengalaman-pengalaman yang kamu anggap sangat penting. Cerita-cerita membosankan soal perjalanan pamitmu, dan beberapa hal lain yang justru aku suka. Bagimu, pertemuan adalah hal biasa. Bagiku, pertemuan adalah hal penting yang harus terulang. Seperti halnya bertemu senja, harus terulang walaupun pasti dalam keadaan berbeda. Kau, tentunya sudah kujelaskan alasannya. Atau mungkin lupa.
Pun dalam setiap pertemuan singkatku dan kamu, kamu masih tetap mendengar ceritaku. Khayalan-khayalan akan pertemuan keduaku dengan bara seperti di bawah peron stasiun kota waktu itu. Sejujurnya, aku sangat menyukai ini. Kau lebih sering membiarkanku berjalan sendiri, sampai akhirnya menemukan sesuatu. Katamu, itu akan bermanfaat buatku kelak. Soal kamu lebih sering menolak membicarakan perasaan,  dan lebih sering bersemangat menceritakan hal membosankan, nyatanya kamu selalu menjadi tempatku pulang. Kamu selalu mengisyaratkan, bahwa hidup harus tetap berjalan. Bahwa semua yang terjadi pada masing-masing diri kita adalah rencanaNya. Dan rasanya, kamu masih menjadi tempatku pulang dalam bayang-bayang peron stasiun kota itu. Sebenarnya aku sangat bersyukur, dipertemukan denganmu adalah pembelajaran yang lama.
Sekarang, aku merindukan bara, bara saat senja pada awal pertemuan di kota itu. Tetapi seperti senja itu sendiri, akan selalu berubah setiap waktu. Begitupun rinduku, begitupun kamu.




Klotakan, 27 November 2016

Selasa, 13 September 2016

Bara Saat Senja

Adakah di dunia ini yang seperti aku dan kamu. Yang akan berjalan beriringan nyatanya jauh dari garis yang waktu itu kita tetapkan. Mungkin kamu tidak ingat saat aku begitu sengaja mengingatnya sebagai patokan "rumahku" kelak. Sementara kamu pulang, aku memaksa diri untuk pergi ke tempat di mana kamu selalu bersepatu kumal, bertopi tentunya. 
Iya, semua seperti apa yang kamu bicarakan padaku sesaat setelah kau turun dari kereta itu. waktu itu, pasti kamu tidak ingat waktu itu. Kamu mengajakku berbicara setengah jam sebelum akhirnya aku harus pulang. Kamu berbicara hal yang aku ragukan perihal kamu yang selalu pamit, pamit dan pamit. Pun saat aku begitu rindu dan kamu tetap pamit. Ya, perihal untuk apa kamu berjalan dan terus berjalan dan sesekali memojokkanku yang terus di sini saja menunggu senja yang, aku sudah tau itu tak pasti. Tapi, aku tidak memaksamu untuk tau kalau aku tetap menunggunya.
Sendiri, aku menerobos hujan dan terik di tengah sibuk lalu lintas kota. Mungkin seperti inilah yang kamu lakukan saat kamu pamit, pamit, dan pamit lagi itu. Nyatanya, kamu yang sudah lama beginipun belum menemukan titik henti sepatu kumalmu, apalagi aku. Lalu sebenarnya apa yang aku cari, apa yang kamu cari?
Akhirnya aku menemukan Bara. Menemukan Bara saat senja di bawah peron stasiun kota.







Jakarta, 12 September 2016

Rabu, 03 Agustus 2016

Soal kau dan sepatu kumal



Pamitmu beberapa waktu lalu, perihal kau tak akan lagi menemaniku menghabiskan senja untuk sementara. Entah apa yang ada di dalam pikiranmu, untuk rumitnya soal negara, kau rela tak tidur. Terombang ambing kau tak hiraukan, sedangkan mereka dengan mudahnya mengacuhkan. Kau hanya bertopi yang selalu meneduhimu dari terik para penguasa, mereka bermakhkota. Sepatumupun, kumal tak kau rawat. Sementara aku pergi sendiri ke tempat biasa, bisa saja kau sedang tergolek lemah di atas tempat tidur yang penuh sobekan kertas, koran-koran berbulat merah yang kau tandai entah untuk apa. Sesekali aku berpikir, mengajakmu untuk menikmati saja setiap pergantian waktu tanpa harus kesana kemari mencari hal yang kadang tidak pasti. Tetapi ternyata, senjapun sama, suatu hal yang tak pasti. Jadi pergilah aku menengokmu dan menemukan kebenaran bahwa kau tergolek lemah disana dan tidak bisa aku menertawakanmu begitu saja. Sebab semua ada alasan. Bahwa nyatanya langkahmu dan sepatu kumalmu itu beriringan mencari kebenaran.




Wates, 3 Agustus 2016

Jumat, 29 April 2016

Cafe itu, meja 21

Aku terus berjalan tak peduli senja yang tertutup gedung-gedung pencakar langit di kanan kiri gang sempit itu. Aneh memang, karena aku tak pedulikan senja yang biasa kucari. Pikiranku hanya satu, kita akan bertemu dan seratus langkah sebelum aku sampai di cafe itu, kau sudah menungguku dengan gaya dudukmu yang tidak pernah tau betapa aku segerakan langkahku. Barangkali, tubuhmu memang yang sudah terlalu muak untuk sekedar bersandar diatas kursi itu, atau memang kau tidak pernah berusaha untuk menungguku dengan raut "mengharap" seperti halnya aku menunggumu di koridor stasiun dulu, dan sekali itu. Hingga dua langkah sebelum aku tiba di meja 21, tempat biasa kita bertemu, memesan 2 cangkir kopi yang juga jadi kesukaanku setelah menemuimu di stasiun itu. Hingga kunikmati secangkir kopi dan ku baru tersadar secangkir lain sudah mendingin diatas meja 21, tepat di depan kursi yang seharusnya milikmu.






Prawirotaman, 29 April 2016

Kamis, 31 Maret 2016

Catatan akhir bulan

Di bawah temaram lampu
Kedai kopi tempat dimana (aku dan kamu) pernah bertemu
Bukan soal kopi yang mendingin
Bukan soal kamu yang begitu saja berlalu




Klotakan, 31 Maret 2016

Senin, 14 Maret 2016

Antara aku dan kopi

Bagaimana aku bisa menghubungkan antara kopi dan cinta
Sementara kisahku,
Hanya melulu soal kopi yang perlahan mendingin di atas meja
Sementara kamu tak juga datang dan aku terus menunggu




Bantul, 15 Agustus 2016

Rabu, 02 Maret 2016

Hujan dan senja

Hujan dan senja
Dan segaris kabut jingga
Siluet melawan deras
Hanya agar terlihat tegar
Diantara berseminya alam
Yang telah lama kering
Rasakan haus bulan kemarin




Piyungan, 30 Oktober 2012
(Tulisan sewaktu masih bergelut di pabrik, karena senja adalah juga teman)

Senin, 29 Februari 2016

Minggu, 28 Februari 2016

(Bukan) sepotong senja untuk pacarku

Bolehkah aku sedikit bicara tentang cinta?
Yang aku hubungkan sedikit dengan sepotong senja
Aku yang tidak tahu bagaimana semua dimulai dan aku memulai
Dan entah, sepotong senja ini
Sepotong senja entah
Baiklah kalau kamu tak juga paham maksudku,
Aku sudah berusaha mengatakan semua dengan sederhana
Tapi senja itu sendiri, tak pernah ingin sesederhana waktu kita nikmati




Pantai selatan Bantul, 26 februari 2016

Senin, 22 Februari 2016

Cemara senja

Tak ada yang lebih menyejukkan selain percikan air kabut menjelang senja
Tak ada yang lebih menarik selain merebahkan tubuh dihamparan rumput
Tak ada yang lebih teduh selain ruang kecil di bawah cemara



Sapen, 22 februari 2016

Sabtu, 20 Februari 2016

Secangkir kopi pertama

Malam sudah selarut ini
Kopi mendingin begitu saja di mejaku
Pada secangkir kopi pertamaku
Pada secangkir kopi entah keberapamu



Srandakan, 20 februari 2016

Jumat, 19 Februari 2016

Aku, kau dan langkahku, bukan langkah kita



Aku terus berjalan saat kau berhenti
Bahkan aku sudah sampai 10 langkah di depanmu
Beristirahatlah aku di dahan pohon rapuh
Bahkan kau tetap berhenti
Menengoklah aku ke arah dimana kau berhenti
Bahkan kau tetap berhenti
Terbersitlah aku untuk mundur 10 langkah lagi
Agar aku kembali di tempatmu berhenti
Bahkan pandangmu menyiratkan satu hal
Aku harus tetap melangkah
Sedang kau selalu berhenti



Kulonprogo, 19 Februari 2016

Senin, 15 Februari 2016

Diam




Dalam diam pun aku tak cukup mengerti
Dalam diam pun keterbatasan logika menghalang
Tetapi, segala ikhlas kan kutemukan




Kotagede, 15 februari 2015