Rabu, 04 Januari 2017

Mengejar Senja Untuk Berdialog pada Diri Sendiri

Sore itu, dari lampu merah pertama jalanku pulang, sekilas terlihat langit senja sedang cantik-cantiknya. Ini menjadi alasan perang batin, aku lewat jalan biasa atau harus memutar lewat persawahan yang aku hafal jalannya, tetapi tidak begitu tahu namanya.

Terjadi dalam waktu singkat, lebih singkat dari lamanya lampu menyala merah tanda berjalan, aku terlalu lama memutuskan. Pertama, aku harus naik motor dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya-yang nyatanya entah- untuk lebih cepat sampai Jembatan Progo agar menemui senja yang, memang kurindukan. Atau kedua, aku mengambil jalan lurus lalu belok kiri, melewati persawahan daerah Bantul yang mungkin langit sorenya akan tertutup pohon-pohon kelapa dan pohon tinggi lain milik pedesaan sebelah sawah.

Tidak butuh waktu lama, dipengaruhi laju ban motor yang sudah terbiasa lewat jalan biasa. Aku berharap, menemui senja di Jembatan Progo. Jembatan panjang untuk perjalanan menyenangkan setiap harinya. Penghubung Bantul dan Kulon Progo, rumahku dan rumahmu .

Terburu-buru karena memang sudah hampir petang, aku membuat janji, jika nanti keputusanku untuk melihat senja di Jembatan Progo nihil, artinya sampai di sana sudah gelap, aku siap menerimanya. Karena, jika aku lurus melewati area persawahan, akupun malah akan segera bertemu senja dalam waktu yang sama dengan menunggu lampu merah kembali hijau. Tetapi, ya, harus memilih salah satu dan siap dengan segala resikonya. Aku siap, aku siap kalau sesampainya di Jembatan Progo nanti, hari mulai malam, langit mulai gelap, matahari sudah benar-benar tenggelam. Tetapi, sebelah hatipun masih berharap, dan senang kalau sampai sana nanti, senja masih begitu cantik seperti yang kulihat dari posisiku sekarang, ditengah jalan raya, terhadang bangunan pertokoan.

Aku memang kadang masih begitu, untuk beberapa pilihan. Sebenarnya aku belum paham betul, bagaimana siap dengan resiko atas pilihan. Tetapi, sepertinya siap itu sendiri akan terjadi, setelah beberapa pembelajaran. Entahlah, mungkin beberapa tahun ke depan, aku berfikir ini akan berbeda lagi.

Pilihan, ya, aku mungkin tergolong terlambat dalam mengalami beberapa pilihan. Atau mungkin aku kurang paham benar bagaimana menuliskannya. Yang jelas, aku ingat, aku mengalami fase hidup yang mengalir dan baik-baik saja cukup lama. Cukup lama.

Kalau kuingat-ingat, pilihan seperti resign dari tempat bekerja tahun lalu tanpa restu bapak, atau seperti pilihan sulit yang berbarengan, adalah pertama atau entah aku lupa keberapa, aku dihadapkan pada sesuatu yang harus dipilih. Yang demikian aku anggap sebagai pilihan, karena ada unsur menangis, bimbang, resah, dan kecewa, yang mungkin, atau bahkan luar biasa.

Ya, setiap orang memang mengalami, mendapatkan pembelajaran, pendewasaan, dalam usia yang berbeda-beda. Dalam hal cinta sekalipun. Dulu, aku tahu cinta itu ya, senang dan tersenyum-senyum, atau malah tertawa bareng-bareng, di taman, bergandengan tangan. Itu karena aku dapat dari televisi, sewaktu SMA, yang memang masih menonton televisi waktu itu.

Tetapi lama-lama, aku merasa, merasakan cinta. Dan, dengan bayang-bayang segala hal indah, aku jatuh cinta yang, mungkin dengan cinta itu sendiri.
Aku tahu, aku pernah pada masa-masa cinta yang kanak-kanak, cinta yang harus indah, cinta yang harus selalu disampingmu.

Aku tahu, dulu aku dan seseorang yang mulai membuatku cinta sama cinta itu sendiri memang selalu dekat, dan dengan ekspektasi bahwa hati kita juga niscaya dekat. Aku juga pernah mendengarkan, ketika salah satu pihak mengatakan, bahwa nyatanya hati ku dan hati orang yang membuatku cinta dengan cinta itu sendiri adalah jauh bahkan sangat jauh.

Dalam hal pekerjaanpun, cinta dengan pekerjaan pernah menjadikanku berada pada pilihan, resign tanpa restu bapak. Aku pikir, aku sudah menjalani suatu pekerjaan yang tidak aku cintai, entah karena lingkungannya. Rasanya sakit sekali memang, karena keluarga mempunyai cinta yang mutlak, kami sama-sama mengerti. Cinta yang mutlak itu sendiri, aku belum begitu paham deskripsinya, hanya saja, sepertinya itu kata yang tepat buat cinta dalam keluarga.

Tetapi nyatanya, ketidakcintaan juga mendatangkan kerinduan tersendiri. Aku pernah merindukan pekerjaan lalu, seperti saat-saat setelah hujan yang aku masih duduk dan bertahan dengan pekerjaan yang sama dan membosankan. Membosankan, karena aku sendiri berpikir bahwa aku tidak mencintainya. Iya, rindu yang bukan berarti ingin kembali.

Dalam waktu yang tak cukup hanya menunggu pergantian lampu merah menjadi hijau, aku tahu bahwa lama-lama, dengan bertambahnya usia, cinta juga akan berkembang. Manusia akan meninggalkan cinta dengan cinta itu sendiri. Sampai di sini, mungkin masih seperti itu untuk mendeskripsikan. Mungkin, akan berbeda ketika mendeskripsikan setelah menikah, atau setelah mengalami pembelajaran-pembelajaran lainnya.

Karena, dalam setiap hidup adalah pembelajaran. Seperti senja sore ini, yang kunikmati setelah begitu larut, bahkan hampir menghilang ditelan malam. Bukan senja yang sedang cantik-cantiknya seperti saat aku masih bergelut dengan suasana ramai jalan raya di menit-menit lalu.

Karena, seperti apapun cara mengejarnya, senja tak selalu sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar